Akhirnya ngeblog lagi. Pagi ini, tiba-tiba saya pengen ngeblog. Tapi, kali ini saya tidak peduli lagi dengan segala aturan penulisan yang saya buat sendiri. Toh, pembaca juga nggak ngeh, maksudnya.
Lagi pula kali ini saya tidak akan menuliskan pikiran saya yang sedang sungguh kacau balau. Saya belum bisa mempercayai pikiran saya untuk sementara. Semoga tidak lama.
Akhir-akhir ini saya bertemu dengan orang-orang aneh. Kebanyakan dari mereka adalah seniman. Saya juga seniman, sepertinya. Bedanya, mereka jelas profesi seninya, musisi. Sedangkan saya... Wallaahu 'alam. Yang jelas, saya juga aneh, sepertinya. Gak tau deh. Terkadang saya pun mempertanyakan kewarasan saya.
Saya merasa ada konektivitas dengan mereka, orang-orang aneh itu. Padahal cara berfikir kami, banyak berbeda. Usia, tampang, pengalaman, skill, beda semua.
Rupanya, ada satu hal yang menyatukan kami: sama-sama terinspirasi oleh alm. Kang Harry Roeli. Berikut ini adalah tulisan beliau dalam rubrik Asal Usul pada harian Kompas, 17 Desember 2000. Silahkan baca aja deh. Kalo suka dan paham, berarti ente (kemungkinan) termasuk orang aneh.
****
SEPERTI kita ketahui, Bumi mengelilingi Matahari selama 365 hari dengan kecepatan sekitar 900 juta km. Jadi per hari/24 jam Bumi menempuh + 2,5 km, atau per menit 800 km, atau per detik 30 km.
Kalau saja tiba-tiba para elite politik kita lewat DPR, mencoba mengamandemen dalil tadi. Misalnya dengan tekanan lewat lobi-lobi, lewat demo bayaran, lewat kaukus-kaukus, lewat pansus-pansus, bahkan lewat impeachment Bumi diharuskan mengelilingi matahari 10 X lipat lebih cepat !! Boleh jadi para politikus ini tidak merasa terganggu, malahan tambah bersemangat!!!
Akan tetapi, tanpa mereka sadari kecepatan Bumi per detik untuk mengelilingi Matahari menjadi 300 km. Sehingga jarak tempuh Bumi mengelilingi Matahari cukup 36,5 hari saja, tidak perlu 365 hari.
Artinya, satu tahun, kita hanya punya 36,5 hari saja. Artinya lagi, sehari-semalam hanya 2,4 jam, atau 2 jam 12 menit, siang 1 jam 6 menit, malam 1 jam 6 menit. Sampai sini para elite politik belum merasa terganggu!
Tapi pola tidur kita terganggu, hanya 1 jam 6 menit! Satpam/jaga malam di PHK. Cucian, perlu 3 bulan untuk bisa kering. Pub atau klab malam mati kutu, karena live music baru main 3 lagu harus buru-buru tutup, sebab sudah adzan subuh. Hostes pun beralih profesi jadi tukang serabi gejrot! Hanya saja untuk berpuasa cukup 1 jam 6 menit, berarti orang durhaka-pun bisa tahan berpuasa. Sampai sini, para elite politik tidak merasa ada gangguan malahan hanya tertawa-tawa geli.
Akan tetapi, waktu seorang elite partai baru saja jatuh tertidur karena mendengarkan sidang, dan sudah harus bangun lagi, karena sidang sudah selesai, barulah para elite ini terganggu: "Ini tidak benar!! Masa baru saja saya tertidur untuk mencari ilham menginterupsi sidang, eh, sudah harus bangun!! Bagaimana ini?" Mereka baru merasa terganggu karena gangguan jarak Bumi-Matahari tadi.
Atau seperti cerita legenda Sangkuriang. Ketika eksekutif sedang serius menyusun "gerendel" (catenaccio), untuk menangkis pansus, tiba-tiba ayam berkokok sebelum "gerendel" selesai disusun, karena gangguan jarak Bumi-Matahari tadi. Akhirnya sang Boss marah "gerendel" pun ditendang, seperti Sangkuriang menendang perahu yang belum selesai. Tapi kabarnya "gerendel" tadi bukan jadi gunung, tapi jadi gerbang, yang terjemahan bebasnya dalam bahasa Inggris "Gate". Barulah mereka terganggu.
Jadi, percuma saja rakyat berteriak-teriak, menyumpah serapah, mencaci maki, memprotes keras, mengimbau, memberi solusi, menulis di koran, membuat seminar, diskusi, talkshow, dan sebagainya, dengan maksud mendapat perhatian para elite ini. Toh, tetap legislatif dan eksekutif ini tenang-tenang saja terus bertikai, tanpa terganggu. Sementara rakyat hidupnya sudah amat sangat berat terganggu. Mungkin mereka harus dibuat terganggu dulu, baru mereka mau mendengar. Sayangnya kita tidak bisa memohon bumi dan matahari menggangu mereka seperti di awal tulisan ini. Jadi kita harus berbuat apa untuk mengganggu konflik mereka yang semakin garang!!!?
***
KEGARANGAN mereka itu, disebabkan dulu (zaman Pak Harto) diharamkan menjadi orang garang. Sedangkan sekarang kalau tidak garang itu tidak elite namanya. Bahkan beberapa elite politik yang sekarang garangnya minta ampun, mungkin dulunya berbisik pun dia tidak berani. Benar juga
kata Bapak Denis Goulet (1975, 66-82), manakala teknologi dan politik menjadi segala-galanya bagi faktor penentu dalam mengambil keputusan, maka kualitas-kualitas kemanusiaan seperti intuisi, empati, toleransi, solidaritas, sosial, citarasa, objektivitas, menjadi marjinal posisinya. Konyol sekali, coba Anda perhatikan! Dulu (zaman Orba), pengamat politik saat itu bisa dihitung dengan jari, dan yang statementnya obyektif bisa dihitung dengan sebelah tangan, sedang yang lain statement ala kadarnya. Tapi pasca otoriterisme, bisa dikatakan setiap RT punya dua orang pengamat politik. Dan, sah saja kalau pendapatnya berbeda. Bahkan harus diusahakan berbeda, kalau tidak berbeda, bukan pakar namanya.
Lahirlah ribuan statement bertebaran di media massa. Doktor, profesor, memberi ribuan solusi untuk kemelut negeri ini. Pakar senior bersuara, pakar baru pun lahir dengan teori-teori baru. Paradigma-paradigma baru lahir, baik yang bernas ataupun tidak. Bahkan karena bingungnya saya mencoba menyusun sebuah tulisan berjudul; "Membentuk wacana dengan paradigma yang signifikan, guna membicarakan secara substansial krisis multi dimensional yang krusial". Padahal saya tidak tahu apa ituartinya paradigma, signifikan, krusial, substansial. Saya hanya senang saja dengan kata-kata itu, senang menyebutnya, serasa pakar.
Pendek kata, seluruh pakar mencoba memberi sumbang saran. Gus Dur harus begitu, Akbar harus begini, Amien jangan begitu, Mega sebaiknya begini , Aceh harus dibeginikan, Irian harus dibegitukan, Ambon jangan dibegitukan dan sebagainya. Ternyata berita yang nyata hanya.... Topan dan Leysus dipecat oleh Pak Timbul.
Kondisi carut marut seperti ini, sebenarnya dibenarkan oleh tulisan Bapak Valvac Havel, dalam judul buku The Post Communist Nightmare (The New York review of books, 1993:8-10). Dia bilang, bahwa keberhasilan gerakan prodemokrasi menumbangkan rezim totaliter ternyata tidak selalu berarti jalan mulus bagi suatu rekonstruksi sosial politik pada masa sesudahnya. Dia menambahkan, kondisi masyarakat pasca revolusi selalu dipenuhi kontradiksi, ironi, dan permasalahan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Konflik etnis, agama, faksi politik, dan tumbuhnya populisme berlebihan sebagai hasil frustrasi berkepanjangan. Vavlac, penyair, dan kemudian menjadi Presiden Cekoslovakia, adalah saksi mata jatuhnya rezim totaliter-komunis di Eropa Timur.
Pertanyaannya, apakah pengalaman Vavlac Havel ini mau kita jadikan pembenaran, "Tuh, negara orang lain juga gitu". Atau sebaliknya kita jadikan pelajaran untuk tidak jadi "begitu". Ada satu orang lagi, Miroslav, pekerja teater asal Bosnia, bercerita langsung kepada saya bahwa sudah 10 tahun antara mereka bertikai. Dan saat ini mulai tampak wajah senyum dari rekonsiliasi, tapi setelah 10 tahun negara ini diobok-obok, dan sudah babak belur, carut marut, centang perentang, hancur lebur. Mereka mulai berhenti bertikai, karena bosan. Dan karena tidak ada lagi yang bisa dipertikaikan.
Lagi-lagi pertanyaannya: "Maukah kita menunggu delapan tahun lagi, untuk terus bertikai, karena sekarang baru dua tahun ? Dan apakah kita bisa seperti mereka, setelah 10 tahun lalu bosan bertikai?
Jangan-jangan kita tidak punya rasa bosan? Dan, jangan-jangan setelah 10 tahun, "kita" tidak ada lagi?"
Cerita di atas tadi, sengaja saya tulis untuk "mengganggu" para elite politik kita. Tapi cerita tadi mungkin terlalu "permukaan", jadi saya tidak tahu pasti akan hasilnya. Tapi yang jelas jika konflik
horizontal multi dimensi ini tidak ditangani, maka lagu "Dari Sabang sampai Merauke" harus direvisi. Mungkin lirik awalnya diubah menjadi "Dari Medan sampai ke Ambon...." Tetapi celaka kita, kalau satu saat anak-anak kita menyanyikan lagu ini, dengan lirik: "Dari Merak sampai ke Banyuwangi..."
Saya benar-benar serius ingin "mengganggu" para elite yang terhormat. Makanya, siap-siaplah kalau lagu di atas direvisi lagi dengan lirik awal. "Dari Daan Mogot sampai Taman Mini, menjajar warung-warung " (Daan Mogot, daerah Jakarta Barat. Taman Mini, daerah Jakarta Timur)
Pak Elite menjawab: "Siapa takut !!"