"Di" itu disambung apa dipisah sih? Emang, apa bedanya?Itulah yang pernah ditanyakan oleh seorang teman, tentang penggunaan kata/imbuhan "di". Kita juga sering melihat (atau bahkan menulis) kata-kata dalam kalimat status di Facebook atau Twitter seperti:
- didapur
- disawah
- dikantor
- dipelosok
Bahasa Indonesia yang kita kenal sekarang ini adalah bahasa tutur, bukan bahasa tulisan. Pada masa penjajahan pun, nenek moyang kita sudah bisa berbahasa Indonesia (waktu itu mungkin disebut Bahasa Melayu), tanpa harus bisa menulis. Bahkan mereka bisa berbalas pantun walaupun buta huruf.
Sayangnya, bahasa kita yang kaya, tidak didukung oleh adanya sistem aksara asli Indonesia. Zaman dulu kaum terpelajar di Nusantara menggunakan aksara lain seperti Arab, China, atau Jawi kuno. Saat itu sebenarnya sudah terdapat standarisasi aturan penulisan, setidaknya itu yang saya pernah lihat dalam kitab fiqih kuno milik Abah saya. Kitab itu menggunakan bahasa Melayu dan ditulis dengan huruf Arab 'gundul'.
Namun kita "terpaksa" menggunakan aksara latin setelah sistem pendidikan Belanja masuk ke negeri ini. Akhirnya sistem penulisan Bahasa Indonesia "terpaksa" (lagi) diatur oleh hanya satu pihak atau satu lembaga saja. Dan kita "dipaksa" menggunakan sistem tersebut melalui pelajaran Bahasa Indonesia yang saya pun banyak lupa. Kita pun jadi kesulitan mengaplikasikannya dalam tulisan, karena tidak diserap dari hasil budaya.
Tahukah anda bahwa kata "daring" (singkatan dari "dalam jaringan") dalam bahasa Indonesia adalah terjemahan dari kata bahasa Inggris "online"? Bahkan saya sendiri kurang sreg dengan kata "unduh" sebagai terjemahan dari kata "download" dan "unggah" dari kata "upload". Tidak semua orang di Indonesia paham arti kedua kata tersebut. Menurut saya, terjemahan dari kata "download" seharusnya "donlod", karena kita sudah terbiasa menyebutkannya seperti itu dan tinggal dikonversi menjadi tulisan.
Huruf latin menurut saya bisa digunakan dengan baik oleh masyarakat yang memiliki sejarah panjang di bidang tulis-menulis. Tata bahasa mereka pun adalah hasil budaya yang kemudian diserap ke dalam sistem bahasa resmi. Dan... bla... bla... bla... (Ngomong apa sih nih orang?)
Well, kembali ke lap... pot! (kata Hannah)
Intinya... Perhatikan kalimat-kalimat berikut ini.
Delapan pemuda yang berdomisili di Serang itu, diserang oleh sekelompok orang tak dikenal.Dalam kalimat di atas kita menemukan dua macam "di". Yang pertama adalah untuk menjunjukkan suatu lokasi, yaitu kota Serang. Oleh karena itu harus dipisah antara "di" dan "Serang". Inilah yang disebut kata depan atau preposisi. Jadi daftar penulisan pada awal tulisan ini seharusnya: "di dapur", "di sawah", "di kantor" dan "di pelosok".
Sedangkan yang kedua adalah bentuk kata kerja pasif (kalau aktif jadi: "menyerang") yang menggunakan imbuhan berupa awalan "di". Imbuhan terdiri dari awalan (contoh: ber-, di-, me-), sisipan dan akhiran (contoh: -an, -kan).
Perbedaan ini mungkin bukan hal penting bagi kita yang sudah mengenal bahasa Indonesia sejak kecil. Namun akan jadi masalah bagi orang yang baru belajar bahasa Indonesia. Misalnya penulisan kata "di bacok". Pembaca yang baru bisa berbahasa Indonesia mungkin akan mengira "bacok" adalah sebutan suatu tempat.
Saya sendiri sih enggak fanatik banget sama bahasa Indonesia. Tapi, percayalah, jika kita berusaha untuk membiasakan diri untuk menulis dalam Bahasa Indonesia yang sesuai aturan, akan memudahkan kita mempelajari bahasa lainnya, kecuali bahasa binatang mungkin.
Lihat juga:
No comments:
Post a Comment