Bila anda berada di Jl. Prof. Dr. Latumenten, Jakarta Barat, terdapat gang kecil persis di muka Jl. Jembatan Besi 3, yang hanya dapat dilintasi sepeda motor . Di dalam gang kecil itu terdapat halaman semen diselimuti oleh kerindangan pohon bambu serta berbagai pohon hias.
Walaupun langit cerah berawan tipis, suasana di tempat itu begitu damai dan sejuk. Suasana yang sangat kontras dengan ramainya lalu lintas kendaraan di jalan raya yang berjarak hanya beberapa meter diluar gang. Persis di depan rumpun bambu terdapat meja besar yang diapit dua bangku panjang yang saya duduki bersama tiga orang keturunan Tionghoa yang ramah. Sampoerna A-Mild yang saya hisap terasa begitu nikmat melengkapi obrolan kami berempat. Tempat itu bernama Vihara Sabda Kasih Damai.
Nama Sabda Kasih Damai yang disandang vihara Budha Tri Dharma itu menjadi gambaran sikap dan sifat umatnya yang begitu toleran. Mereka bahkan menunggu waktu magrib, yang tinggal dua jam lagi, untuk makan karena menghormati saya yang saat itu (10/11/07) saya sedang berpuasa Ramadhan. Rasa toleransi mereka yang sangat tinggi ini menunjukkan bahwa anggapan etnis Tionghoa sebagai komunitas eksklusif adalah salah.
Mereka sering melaksanakan kegiatan sosial dan keagamaan yang melibatkan masyarakat sekitarnya. Melalui album foto yang saya lihat, mereka sering memberikan bantuan materi, seperti sembako, bagi masyarakat tanpa memandang suku, etnis, dan agama. Sebuah gambaran kecil tentang kasih dan kedamaian yang mereka sabdakan.
Sayangnya ketenteraman vihara ini tidak dapat dinikmati setiap saat. Seperti sebagian besar wilayah Jakarta, vihara yang berjarak hanya sekitar 10 km dari pantai utara inipun selalu terancam oleh serangan banjir. Kondisi ini diperparah oleh jalan raya didepannya yang lebih tinggi dari halaman vihara. Bahkan di triwulan terkahir 2007, bagian tengah Jl. Prof. Dr. Latumenten itu makin ditinggikan dengan jalur busway koridor IX.
Walaupun menyebabkan kesengsaraan bagi warga Jakarta (soal ini tidak perlu dibahas lagi), tampaknya Pemda DKI lebih memilih mengeluarkan duit untuk menyelesaikan proyek busway -dan bahkan proyek monorel- dibandingkan menuntaskan masalah banjir.
"Yang penting Jakarta terlihat keren dulu... Ada busway, ada monorel, dan mungkin subway. Lagipula kan proyek ini banyak duitnya buat kita. Kalau banjir sih, mana ada duitnya?", begitu mungkin yang terpikir oleh SPPB (Sang Penggagas Proyek Busway).
Gagasan brilian SPPB ini menyebabkan banyak hal negatif yang membuat saya justru mengangkat topi sebagai penghormatan bagi perjuangan warga Jakarta (kaya dan miskin) untuk bertahan hidup. Macet yang diakibatkan oleh berkurangnya bandwidth jalan yang dimakan jalur busway menyebabkan turunnya pendapatan para supir angkutan umum non busway. Di sisi lain para pekerja dan pengguna angkutan umum memilih untuk menggunakan sepeda motor yang mampu menghindari kemacetan serta dapat menekan biaya transportasi mereka. Sepeda motorpun begitu mudah didapatkan melalui lembaga pembiayaan.
Pengusaha juga harus memutar otak lebih keras karena biaya distribusi yang semakin meningkat. Lalu, cadangan minyak nasional juga terancam karena kemacetan menyebabkan borosnya penggunaan bahan bakar minyak (BBM) oleh kendaraan bermotor. Belum lagi masalah global warming akibat tingginya emisi gas buang jutaan kendaraan bermotor yang terjebak macet selama minimal 6 jam di hari kerja, pagi dan sore.
Walahhhhhh.... Itulah berbagai masalah di Jakarta, kota yang tetap menggiurkan bagi bangsa Indonesia untuk tinggal di sana. Di Jakarta, Pemda DKI mendidik warganya untuk berjuang sendirian tanpa bantuan yang berarti. Berjuang sendirian dan tetap membayar pajak. Lho? Iya! Itulah Jakarta. Dan inilah blog... bebas bicara sampai lupa topik awal.
Okeh, kembali ke laptop!
Sebagaimana warga Jakarta pada umumnya, umat Vihara Sabda Kasih Damai juga berjuang tanpa bantuan pemerintah dalam menyikapi banjir. Kalau di daerah Tebet, Jakarta Selatan, beberapa warganya menyiapkan plafon untuk tidur di saat rumah mereka terendam banjir setinggi 1 meter. Sedangkan umat Vihara Sabda Kasih Damai memilih untuk membangun kembali vihara mereka dengan fondasi yang lebih tinggi 1,5 meter dari jalan raya. Vihara yang berdiri sejak tahun 1969 ini akan diruntuhkan dan digantikan dengan bangunan vihara yang lebih besar untuk menampung umat yang semakin banyak.
Untuk itulah saya, ko Andreas (arsitek), ko Pil (jemaah vihara), dan ko Ronald (pimpinan vihara) nongkrong bareng di bawah rindangnya rumpun bambu Vihara Sabda Kasih Damai untuk membahas rencana pembangunan kembali vihara tersebut. Yang mendisain ulang dan bertanggungjawab atas pembangunan vihara nanti adalah ko Andreas. Sedangkan saya hanya mengerjakan visualisasi 3D dari disain beliau untuk memberikan gambaran bagi umat vihara bagaimana kelak jadinya vihara yang mereka bangun bersama.
Semoga Vihara Sabda Kasih Damai yang baru cepat terealisasi untuk dapat tetap menyabdakan kasih secara damai bagi warga Jakarta. Peace!
kueeerennn jo desain & animasi lo... :D
ReplyDeletePa Ustad Udeh kereeen animnya tp sih Your capability not maximum yet, tunjukin lagi donk kepada Dunia siapa Ente
ReplyDeleteTop; Toleransi beragama itu indah
ReplyDelete